Page 139 - pdfcoffee.com_407689652-filosofi-teras-pdfdocx-pdf-free
P. 139

loteng, gak harus setan kan. Bisa aja maling, kucing, atau
                    genderuwo..."). Teknik S-T-A-R membutuhkan kemampuan deteksi

                    dini emosi negatif agar kita bisa segera sadar dan menghentikan
                    rantai pikiran buruk seawal mungkin.

                    Kita bisa menjadikan disiplin S-T-A-R ini kebiasaan sehat. Pada
                    awalnya pasti terasa menantang, apalagi jika selama bertahun- tahun
                    hidup dengan emosi yang sangat reaktif dan spontan terhadap apa
                    pun yang menimpa hidup kita.

                    Saat menulis buku ini, saya sudah menerapkan S-T-A-R selama

                    kurang lebih 6 bulan, dan saya bisa katakan, semakin sering
                    diterapkan semakin dia menjadi kebiasaan. Menurut banyak
                    penelitian, kemampuan mental kita memang mirip dengan otot.
                    Kebiasaan berpikir bisa dilatih seperti mengangkat barbell atau lari
                    maraton—semakin sering dilatih, maka semakin kuat.

                           "Jagalah senantiasa persepsimu, karena ia bukan hal yang

                           sepele, tetapi merupakan kehormatan, kepercayaan, ketekunan,
                           kedamaian, kebebasan dari kesakitan dan ketakutan—dengan
                           kata lain, kemerdekaanmu.” - Epictetus [Discourses]

                    Tentunya kita harus realistis bahwa teknik S-T-A-R bukan amunisi
                    ajaib [magic bullet) yang mengatasi segala emosi kita, membuat kita
                    selalu kalem luar biasa bagaikan tokoh Yoda di film Star Wars.
                    Namun, minimal kita bukan bagaikan sekoci lepas yang pasrah

                    mengikuti dibawa ombak ke mana. Stoisisme mengajarkan bahwa
                    interpretasi ini sepenuhnya di bawah kendali kita. Dengan S-T-A-R,
                    kita mulai berusaha memberikan "dayung” dan "layar” ke kapal kecil
                    emosi kita, sehingga tidak semudah itu diombang-ambing ke sana
                    sini.

                    Seperti disinggung oleh Dr. Andri SpKJ, FAPM di Bab I, bukan stres

                    yang membunuh kita, tetapi reaksi kita terhadap stres. Stres yang
                    sama bisa menimpa dua orang, tetapi responnya bisa sangat
                    berbeda, tergantung persepsi masing-masing individu. Bagi saya,
                    inilah bentuk validasi dunia medis terhadap Filosofi Teras.

                    Walaupun “ilmu” psikologi dan psikiatri mungkin belum resmi
                    dirumuskan di masa Yunani dan Romawi kuno, para filsuf Stoa sudah
                    memahami bahwa peristiwa buruk, kondisi yang tidak

                    menyenangkan, dan musibah adalah fakta hidup (Sang Buddha
                    berkata bahwa hidup pada dasarnya penuh kesedihan), tetapi bukan
                    itu semua yang ‘membunuh’ kita, melainkan apa yang kita pikirkan
   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143   144