Page 142 - pdfcoffee.com_407689652-filosofi-teras-pdfdocx-pdf-free
P. 142

Membaca temuan di atas, saya makin yakin bahwa kata-kata
                     Epictetus dan Marcus Aurelius sesungguhnya tetap relevan, bahkan

                     2.000 tahun sesudah dituliskan. Rasa frustrasi dan ketidakbahagiaan
                     kita sesungguhnya datang dari dalam pikiran kita sendiri, bukan dari
                     realitas hidup itu sendiri. Good news-nya adalah pikiran kita
                     sepenuhnya berada di bawah kendali kita sendiri.



                     Melawan Lebay


                     Bagaikan cenayang, para filsuf Stoa juga sudah memberikan
                     beberapa tips menghadapi kelebayan zaman ini. Tanpa kita sadari,
                     sebenarnya kita sering kali lebay (berlebihan) dalam menanggapi
                     segala sesuatu, walaupun hal itu sebenarnya remeh. Kita marah-

                     marah, ngomel, baper, mewek, dan lain-lain, untuk hal-hal yang tidak
                     perlu. Di foto selfie keliatan gemuk? Lebay! Berat badan naik 200
                     gram? Lebay! Gebetan ternyata sudah punya anak? Lebay! Nilai
                     ujian anak hanya 97, padahal harusnya 100? Lebay! Gak
                     mendapatkan tiket konser? Lebay! Seleb kawin lagi? Lebay juga,
                     padahal kenal juga enggak.


                     Kenyataannya, media sosial menambah lagi kemungkinan kita
                     menjadi lebay. Pertama, dengan mendistorsi persepsi realitas kita.
                     Kebanyakan orang hanya mem-post hal-hal yang indah saja di media
                     sosial, misalnya sepatu baru, HP baru, pacar baru, cafe baru, liburan
                     baru, tas baru, rumah baru, istri baru, anak baru, dan seterusnya.
                     Hampir jarang sekali yang mem- post kemalangan, kemiskinan,
                     kecerobohan, kebodohan dalam hidupnya.


                     Saya belum pernah melihat ada yang menulis di akun media
                     sosialnya, "Yay! Saya hamil dan tidak tahu siapa bapaknya!” Karena
                     postingan orang-orang di media sosial selalu diseleksi /curated),
                     maka media sosial tidak memberikan gambaran realitas hidup yang
                     seimbang, tetapi cenderung ke yang positif saja. Ini membuat kita
                     mengira standar hidup yang "normal” harus selalu indah, sempurna,

                     harmonis, dan ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak
                     enak sedikit, bagi kita ini sudah menjadi masalah besar.

                     Yang kedua, menjadi lebay sangat difasilitasi oleh media sosial. Kita
                     mudah memuji-muji dengan berlebihan hal-hal yang ada di media
                     sosial, karena kita cukup memilih like, menaruh emoticon, atau
                     menulis komentar dengan jempol kita. Tanpa kita sadari, lebay di

                     jempol akhirnya bisa menjadi lebay di bibir dan pikiran. Sekarang, kita
   137   138   139   140   141   142   143   144   145   146   147