Page 244 - BMP Pendidikan Agama Kristen
P. 244
230
Tahun 1945, Pasal 5 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan UU No. 1 Drt. 1951.
B. Hubungan Negara dengan Hukum
Suatu ketika Satjipto Rahardjo pernah menjelaskan hukum ibarat
adonan kue dan cetakannya. Menurutnya, hukum suatu bangsa tidak dapat
dipahami sebagai sesuatu yang selesai, tetapi semacam bahan adonan yang
masih harus dibentuk dan sesudah adonan itu dimuat ke dalam cetakan,
jadilah ia sebagai hukum bangsa itu. Setiap bangsa punya bentuk kehidupan
sosialnya sendiri (form of social life), ia bukanlah himpunan sejumlah besar
peraturan, melainkan bangunan berwatak dan bermakna, sehingga
memahami hukum patut mengetahui watak dan makna yang memiliki
pencitraan dari berbagai disiplin ilmu tentang bangsa tersebut. Di sini
pencitraan diri dapat dilihat sebagai satu sisi dari budaya hukum mengenai
bagaimana hukum dibuat dan diterima oleh suatu bangsa dan menjadi
7
perwujudan pencitraan diri.
Beragam kebutuhan dan keinginan manusia menyebabkan mereka
harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebab manusia
tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Perkawinan mengawali
lahirnya keluarga yang membentuk kelompok yang lebih besar lambat laun
menjadi dusun dan desa. Kemudian desa-desa itu bergabung lagi hingga
timbul negara yang sifatnya masih merupakan suatu kota (polis). Oleh sebab
masing-masing tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri
terjadilah pembagian tugas dan pekerjaan, sehingga timbul suatu kehendak
agar ada pemimpin dan pemerintahan yang mengatur kehidupan suatu
masyarakat atau bangsa tadi. Dengan demikian dapat dipahami keberadaan
suatu bangsa yang memiliki hukum tadi memiliki beberapa syarat, yakni ada
penghuni (rakyat, penduduk, warga negara), ada wilayah (tertentu) atau
lingkungan kekuasaan, ada kekuasaan tertinggi (pemerintah yang
berdaulat), ada pengakuan negara-negara lain dan konstitusi (hukum
dasar).
Pemerintahan yang dimiliki suatu negara diberikan kekuasaan untuk
membentuk hukum, menjalankan dan menegakkannya, sehingga timbullah
teori tentang pemisahan atau pembagian kekuasaan. Pemisahan kekuasaan
7 Satjipto Rahardjo. Hukum dalam Jagat Ketertiban, 144.

