Page 211 - pdfcoffee.com_407689652-filosofi-teras-pdfdocx-pdf-free
P. 211

secara mendadak...kemarahan bisa begitu memuncak hanya dari
                   penyebab awal yang remeh.” /On Anger)


                   Kemarahan bisa begitu memuncak hanya dari penyebab awal yang
                   REMEH. Betapa benar dan tragis. Pernahkah kita membaca berita dua
                   kampung bisa tawuran hanya karena urusan pertandingan bola? Orang-
                   orang berpendidikan bisa naik pitam, bahkan baku hantam di jalan, hanya
                   karena urusan mobil keserempet? Dua keluarga bisa tidak berbicara

                   bertahun-tahun karena urusan sesepele undangan nikah, hutang, atau
                   perangkat Tupperware yang tidak dikembalikan? Tidak ada pemicu
                   sesepele apa pun yang tidak mampu menciptakan kemarahan berlipat-
                   lipat.

                   Dalam bentuk lain, tetapi sama ”gila”-nya, adalah perilaku kita di media
                   sosial. Hanya karena urusan satu tweet atau satu post di Facebook atau

                   Instagram, bisa terjadi pertengkaran berjilid- jilid dengan modal jempol.
                   Bagi pihak ketiga yang mengamati ini dengan kepala dingin, pasti setuju
                   dengan perkataan Seneca: kemarahan memengaruhi kewarasan kita.
                   Mungkin, karena hal ini juga orang Jawa zaman dulu menarik kesimpulan,
                   “Yang waras mengalah.” Karena percuma berhadapan dengan orang yang
                   sedang tidak waras, walau hanya sementara.


                   Berikut kali kita merasakan kemarahan mulai terbangun, segeralah
                   menghentikannya. Rasanya tidak ada yang mau dibilang sebagai “orang
                   gila”, walaupun hanya untuk sementara. Sekali lagi, ingatlah S-T-A-R.
                   Ajaran orang zaman dulu untuk menghitung sampai sepuluh sebelum
                   mengekspresikan kemarahan mungkin ada benarnya, karena memberi
                   kesempatan untuk “kewarasan” kita pulih kembali.




                   Jangan Sampai Kita Mengisolasi Diri

                         “Dahan yang dipotong dari dahan sebelahnya juga terputus dari
                         pohon keseluruhan. Begitu juga manusia yang terpisahkan dari

                         manusia lain juga terputus dari masyarakat keseluruhan. Dahan
                         pohon dipatahkan oleh orang lain, tetapi manusia 'mematahkan’ diri
                         mereka sendiri—melalui kebencian dan penolakan—dan tidak
                         menyadari bahwa mereka telah memotong diri mereka dari seluruh
                         masyarakat...Kita memang bisa melekatkan lagi diri kita dan sekali
                         lagi menjadi bagian dari keseluruhan. Akan tetapi, jika kita memotong
                         diri terlalu sering, maka akan makin sulit untuk melekatkan diri

                         kembali. Kamu bisa melihat perbedaan antara dahan yang selalu
                         tumbuh di sebuah pohon, dan dahan yang sudah pernah dipotong
   206   207   208   209   210   211   212   213   214   215   216