Page 19 - SKI 9 Semester Ganjil
P. 19
Kearifan Lokal di Melayu Kearifan Lokal di Bugis
Upacara Ammateang
Petang Megang
Budaya ini dalam adat Bugis merupakan upacara
Budaya masyarakat Melayu ini dilaksanakan di
yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat
Sungai Siak. Hal ini mengacu pada leluhur suku
seseorang di dalam suatu kampung meninggal
Melayu di Pekanbaru yang memang berasal dari
dunia. Keluarga, kerabat dekat, ataupun kerabat
Siak. Kearifan lokal ini diawali dengan ziarah ke
jauh, serta masyarakat sekitar lingkungan rumah
berbagai makam pemuka agama dan tokohtokoh
orang yang meninggal itu berbondong-bondong
penting Riau. Ziarah dilakukan setelah shalat
menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya
Zhuhur. Lalu, dilanjutkan dengan kegiatan utama
membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga
ziarah ke makam Sultan Muhammad Ali Abdul
yang ditinggalkan) berupa barang seperti sarung
Jalil Muazzam Syah yang juga dikenal dengan
atau kebutuhan untuk mengurus mayat. Selain
nama Marhum Pekan. Beliau merupakan sultan
itu, ada juga yang membawa passolo (amplop
kelima Kerajaan Siak Sri Indrapura (1780‒1782)
berisi uang sebagai tanda turut berduka cita).
dan juga pendiri kota Pekanbaru.
Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan
Balimau Kasai dan seterusnya sebelum semua anggota keluarga
terdekatnya hadir. Baru setelah semua kerabat
Upacara tradisional ini khusus diadakan untuk terdekat hadir, mayat mulai dimandikan, di mana
menyambut bulan suci Ramadhan.Acara ini umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu
biasanya dilaksanakan satu hari menjelang yang memang biasa memandikan mayat atau oleh
masuknya bulan puasa. Selain sebagai ungkapan anggota keluarganya sendiri. Hal ini masih sesuai
rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan ajaran Islam dalam tata cara mengurus jenazah
Ramadhan, upacara ini juga merupakan simbol dalam hal memandikan sampai menshalatkan.
penyucian dan pembersihan diri. Balimau sendiri
bermakna mandi dengan menggunakan air yang Mabbarasanji/Barzanji/Barazanji
dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat
Budaya ini biasa dikenal dalam masyarakat Bugis
disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah
sebagai nilai lain yang mengandung estetika
jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas. Adapun
tinggi dan kesakralan. Mabbarasanji mempunyai
kasai adalah wewangian yang dipakai saat
macam-macam pembagian menurut apa yang ada
keramas. Bagi masyarakat Kampar, pengharum
dalam keseharian mereka sebagai berikut:
rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir
Barazanji Bugis ‘Ada’ Pa’bukkana’; Barazanji Bugis
segala macam rasa dengki yang ada di dalam
‘Ri Tampu’na’Nabitta’; Barazanji Bugis
kepala sebelum memasuki bulan puasa.
‘Ajjajingenna’; Barazanji Bugis ‘Mappatakajenne’;
Barazanji Bugis ‘Ripasusunna’; Barazanji Bugis
Tahlil Jamak atau Kenduri Ruwah
‘Ritungkana’. Barazanji Bugis ‘Dangkanna’;
Tahlil jamak itu berupa dzikir serta berdoa untuk Barazanji Bugis ‘Mancari Suro’; Barazanji Bugis
para arwah orang tua atau sesama muslim. Selain ‘Nappasingenna Alena’; Barazanji Bugis
doa, dilaksanakan juga kenduri dengan sajian ‘Akkesingenna’; Barazanji Bugis ‘Sifa’na Nabit’ ta’;
menu yang bersumber dari sumbangan sukarela Barazanji Bugis ‘Pa’donganna’; serta Barazanji
warga. Kegiatan tersebut disatukan sejak Bugis ‘Ri Lanti’na’.
berdirinya Masjid Penyengat. Bahkan, sampai
saat ini, Kenduri Ruwah masih dilakukan secara
berjamaah di masjid tersebut. Warga Pulau
Penyengat, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau,
mempunyai tradisi khas menyambut datangnya
bulan puasa.
Barzanji
Budaya Melayu ini masih berlangsung hingga kini.
Bahkan, pelaksanaannya terus mengalami
perkembangan dengan berbagai inovasi yang ada.
Sebagai contoh, penggunaan alat musik modern
untuk mengiringi lantunan Barzanji dan shalawat.
Barzanji menghubungkan praktik budaya Islam
masa kini dengan di masa lalu. Selain itu, melalui
Barzanji, masyarakat Melayu Islam dapat
mengambil pelajaran dari kehidupan Nabi
Muhammad Saw.

