Page 202 - pdfcoffee.com_407689652-filosofi-teras-pdfdocx-pdf-free
P. 202

atau pincang, maka kita juga harus merasa iba kepada mereka yang
                   (nalarnya) ‘buta dan pincang’.” (Discourses)

                   Selama ini saya menganggap manusia hitam dan putih, ada manusia

                   "baik", ada manusia "jahat”. Namun, label "baik" dan "jahat” ini mereduksi
                   manusia lain menjadi dua kelompok saja, seolah-olah yang baik akan baik
                   terus selamanya, begitu juga dengan yang jahat. Stoisisme memberi
                   alternatif sudut pandang lain, yaitu perbuatan “jahat" bisa jadi lahir karena
                   ketidaktahuan (ignorance), bukan karena memang diniatkan. Sama halnya

                   seperti kita tidak mungkin marah-marah kepada anak bayi yang ingin
                   mencolok sambungan listrik dengan jarinya dan membahayakan dirinya,
                   karena dia "tidak mengerti” konsep bahaya listrik. Begitu juga dengan
                   orang-orang yang berbuat jahat di mata kita—bagaikan si anak bayi tadi—
                   karena mereka tidak mengerti.

                   Seseorang menyalip antrean di depanmu? Mungkin dia belum tahu soal
                   antre. Atau, kalau sudah tahu pun, mungkin dia tidak tahu perilaku tersebut

                   menyakiti perasaan orang lain. Ada yang bergosip jahat di belakangmu?
                   Mungkin dia tidak tahu bahwa itu tercela. Ada yang bersikap tidak ramah
                   kepadamu di kantor? Mungkin dia tidak tahu soal etiket di kantor. Ada
                   orang yang memakimu? Mungkin dia sedang dikuasai emosi sesaat,
                   sehingga "tidak tahu” kalau itu jahat.

                   Saya yakin masih ada orang yang berbuat jahat dan sangat sadar

                   mengetahui itu jahat. Namun, orang-orang seperti ini rasanya sangat
                   sedikit jumlahnya. Jika kita renungkan orang-orang yang pernah
                   “menyakiti” kita dalam hidup, dan kita mau mencoba benar-benar berpikir
                   objektif dan empati, maka kita akan menemukan bahwa sebagian besar
                   dari mereka tidak benar- benar berniat menjahati orang lain. Bahkan,
                   mereka yang kita yakini memang berniat menjahati kita pun mungkin
                   terdorong oleh rasa ketakutan mereka (yang bisa jadi tidak beralasan).


                   Frederick Douglass adalah seorang kulit hitam yang hidup di Amerika
                   Serikat pada abad ke-19, di mana praktik perbudakan dan ketidakadilan
                   terhadap kaum kulit hitam masih terjadi, la adalah seorang mantan budak
                   yang melarikan diri, kemudian menjadi aktivis pejuang penghapusan
                   perbudakan, la dianggap sebagai tokoh kulit hitam paling berpengaruh di
                   masanya. Pada suatu saat, Douglass, yang melakukan perjalanan dengan
                   angkutan umum, dipaksa untuk duduk di gerbong bagasi karena warna

                   kulitnya. Padahal, beliau membayar tiket sama dengan yang lain.
                   Beberapa orang kulit putih yang mengenalnya dan simpati pada
                   perjuangannya kemudian menghampirinya di gerbong bagasi untuk
                   menghiburnya. Salah satu dari mereka berkata, “Saya turut menyesal







                                                            171                       HENRY MANAMPIRING
   197   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207