Page 230 - pdfcoffee.com_407689652-filosofi-teras-pdfdocx-pdf-free
P. 230

aja. Maka saat tenggelam dalam sains, saya sangat terobsesi menjadi

                     ‘'benar". Gak mungkin ada dua kebenaran di sains. Saya bisa bilang
                     kalo saya mungkin lebih close-minded saat itu, karena saya gak
                     menganggap kebenaran itu relatif. Kalo lo salah ya lo goblok.

                     Tapi, ketika kuliah di FISIP saya berbenturan dengan pemikiran-
                     pemikiran lain, dan pada tahap yang keras. Kalau lo orangnya keras, lo
                     akan tetap close-minded. Tapi, saya selalu tertantang dengan adanya
                     orang lain yang mungkin lebih bener dari saya. Akhirnya saya melihat

                     bahwa ragam kebenaran itu tidak bisa direduksi menjadi satu. There
                     are alternatives of truth, maksudnya truth dalam arti morality, virtue,
                     orang-orang bisa memiliki definisi yang berbeda.

                     Jadi, waktu masuk kuliah politik tadinya saya mengharapkan hanya
                     cognitive development aja, yaitu saya jadi lebih menguasai bidang ini.
                     Ternyata it gives me a lot more than that, salah satunya saya jadi lebih

                     open-minded dalam konteks ragam kebenaran itu.


                     Bagaimana awalnya bertemu dengan Stoisisme?

                     Group LINE di mana saya berada sering membahas hal-hal yang tidak
                     mainstream. Waktu itu ada yang membahas spirituality. Kami biasanya
                     berkutat pada filsafat-fiIsafat yang memuaskan kognitif, seperti
                     marxisme, dialektika, renaissance. Kemudian, suatu saat kami

                     membahas apakah ada yang hilang jika tidak ada spirituality. Kami
                     membahas alternatif (spiritualitas) selain divinity (ke-Tuhan-an), dan
                     mungkin salah satu alternatif itu datang dari filsafat. Maka muncullah
                     diskusi tentang Stoisisme itu.

                     Kami memang tidak membahas sangat dalam, tapi saya jadi

                     penasaran, kemudian search di Google dan saya menangkapnya
                     sebagai filsafat self-control. Menaklukkan diri sendiri. Itu yang saya
                     tangkap. Diskusi tentang bagaimana jika filsafat membahas sisi
                     emosional manusia, bukan kognitif. Ini melengkapi topik liberalisme,
                     karena ketika kita memberikan kebebasan pada individu, maka individu
                     itu harus bisa mengelola dirinya di dalam kebebasan itu. Dan
                     Stoisisme memberikan cara untuk menaklukkan diri lo sendiri, dalam
                     kehidupan antarmanusia.



                     Adakah prinsip Stoisisme yang suka diterapkan?

                     Ada adagium (peribahasa): “10% masalah dalam hidup kita adalah
                     masalah itu sendiri, 90% adalah how we react to the problem". Dan jika
   225   226   227   228   229   230   231   232   233   234   235