Page 180 - BMP Pendidikan Agama Kristen
P. 180

166



                     Bila  demikian,  tertutupkah  jalan  pertanggungjawaban  iman  secara
                                          30
                rasional?  Romo  Magnis   berkata  iman  dapat  dipertanggungjawabkan
                secara  rasional  dalam  dua  arti:  Pertama,  secara  teologis.  Iman  dapat  di
                pertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk bahwa apa yang diimani, serta
                kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu. Kedua, secara filosofis. Yang
                mau ditunjukkan dalam pertanggungjawaban filosofis adalah rasionalitas
                iman  itu,  dan  dilakukan  dengan  memakai  nalar.  Nalar  dapat  memeriksa
                suatu  keyakinan  atau  ajaran  agama  dari  beberapa  sudut.  Misalnya,  dari:
                Konsistensi logis. Apakah ada pertentangan antara ajaran-ajaran itu dengan
                Pengetahuan  dunia  dan  masyarakat.  Apakah  penciptaan  dapat

                dipertanggungjawabkan dari sudut pandang pengetahuan ilmu-ilmu alam
                tentang alam raya.
                     Lebih  jauh  Romo  Magnis  menjelaskan  bahwa  filsafat  ketuhanan
                sebagai  filsafat  tidak  mendasarkan  diri  pada  ajaran  agama  tertentu
                melainkan bertanya apa yang secara nalar dapat dikatakan tentang iman itu.
                Filsafat agama juga tidak membicarakan seluruh iman kepercayaan suatu
                agama  melainkan  hanya  inti  keyakinan  iman  bahwa  ada  Tuhan.  Ruang
                lingkup  filsafat  ketuhanan  hanyalah  pada  batas  adanya  Tuhan
                dipertanggungjawabkan secara rasional.


                C.  Integrasi Iman dan Ilmu
                     Membaca  iman  dan  akal,  berpikir  dan  merasa,  sepertinya
                menghadirkan  nuansa  yang  sangat  “dikotomistik”,  apalagi  bila  para
                pembaca  adalah,  kaum  awam  yang  masih  terbatas  dalam  lingkup
                “bacaannya” berkaitan dengan pokok dimaksud. Dugaan itu muncul ketika
                menyebut atau menuliskan istilah “iman” berbarengan atau bergandengan
                (maksudnya  yang  satu  mendahului  yang  lain)  dengan  akal;  berpikir  dan
                merasa.  Bahwa  tidak  ada  hubungan  antara  iman  dan  akal,  berpikir  dan
                merasa;  “iman  ya  iman”,  “akal  ya  akal”  atau  “berpikir  ya  berpikir”  atau

                “merasa ya merasa”. Bahkan tidak hanya menyangkut ketakberhubungan
                kedua  istilah  ini  tetapi  juga  diversuskan  atau  dipertentangkan  sehingga
                bertentangan.




                30  Suseno, Menalar Tuhan, 21-24.
   175   176   177   178   179   180   181   182   183   184   185