Page 159 - pdfcoffee.com_407689652-filosofi-teras-pdfdocx-pdf-free
P. 159

S    aya mempunyai beberapa teman lama dan kenalan yang sedari


                          dulu selalu membuat saya kagum. Mereka adalah orang-orang

                          yang di hampir semua situasi yang sangat tidak mengenakkan
                     selalu bisa berkata, “Yah, d/-enjoy sajalah." Antrean terminal yang
                     panjang, kemacetan berjam-jam, dosen membatalkan kelas
                     mendadak padahal kami semua sudah hadir; dulu, bagi saya ini
                     adalah hal yang aneh. Situasi lagi gak enak kok d/-enjoy? Gimana
                     bisa? Harusnya kita protes! Menuntut keadilan! Memperbaiki
                     keadaan! Menghukum yang menyebalkan!


                     Sampai akhirnya saya mempelajari Filosofi Teras dan menemukan
                     bahwa orang-orang tersebut sebenarnya sudah menjalankan salah
                     satu praktik Stoisisme—kemampuan untuk tidak hanya menerima,
                     tetapi bahkan menikmati "the present" (masa sekarang).





                     Sampai bab terakhir, kita sudah melihat bagaimana Filosofi Teras
                     mengajarkan prinsip "hidup harus selaras dengan Alam", yang artinya
                     menggunakan nalar. Semua peristiwa di dalam hidup adalah bagian
                     keterkaitan dan sebab akibat dari semesta yang lebih besar. Ada
                     sebagian hal dalam hidup yang berada di bawah kendali kita, ada
                     yang tidak di bawah kendali kita. Lalu, sumber dari emosi negatif

                     bukanlah peristiwa-peristiwa dalam hidup, tetapi
                     persepsi/anggapan/pendapat kita sendiri atas peristiwa tersebut.

                     So far so good. Stoisisme masih memiliki beberapa lagi tips dan trik
                     untuk membantu kita merasa damai tenteram di tengah hidup yang—
                     sebenarnya—ada di luar kendali kita.

                            "We suffer more in imagination than in reality." - Seneca

                            (Letters)

                            ("Kita menderita lebih di imajinasi kita daripada di kenyataan.”)

                     Yang pertama, kenali bahwa kita sering kali menyiksa diri dengan
                     pikiran-pikiran kita sendiri, dan ini lebih menyiksa daripada kenyataan
                     yang sebenarnya akan terjadi. Misalnya, kita harus memberikan
                     presentasi di depan umum. Kemudian, di dalam pikiran kita sudah
                     berkecamuk skenario bahwa kita akan salah ngomong, kesandung
                     kabel mic, menumpahkan air ke













                                                              128
   154   155   156   157   158   159   160   161   162   163   164