Page 38 - Al-Bayan EDISI 24
P. 38

Ayah tidak kunjung                                      tidak bisa Aku tulis
          datang. Hatiku benar-                                   dalam buku diary.
          benar semakin resah.     Suara itu dari arah              Saat Aku masih
          Pikiranku mulai berpikir   yang lumayan jauh.          terduduk       dan
          yang  tidak-tidak, tapi                                menangis.  Seorang
          semoga saja tidak terjadi  Semakin lama semakin        perawat memberikan
          apa-apa dengan Ibu dan   mendekat. Suara itu           sebuah  kotak.  Kotak
          Ayah.                                                  yang  berisi  sepatu
            22:10               berhenti tepat di depan          baru.
            Sejam telah berlalu.   rumahku. Sedari tadi             “Namamu Rendy,
          Ini   tidak   seperti                                  ya? Ini titipan dari
          biasanya.  Aku  pun Aku memejamkan mata.               Ibumu  sebelum  dia
          mencoba menelepon                                       benar-benar  pergi.
          Ibu.                                                    Sabar ya nak, perlu
            *Nomor yang anda tuju sedang tidak                    kamu ketahui. Gak
          dapat dihubungi, cobalah beberapa saat   semua kebahagiaan bisa menetap, kadang
          lagi.                                 kita harus mengikhlaskan kebahagiaan itu
              Berkali-kali Aku mencoba menelepon   untuk menemukan kebahagiaan  lainnya,”
          Ibu. Nihil. Kemudian kucoba telepon Ayah.   ujar Perawat.
          Nihil juga. Kupejamkan mataku. Berusaha   Aku hanya menunduk seraya merangkak
          berpikir  jernih.  Aku  berdo’a  agar  Ibu  dan   ke jenazah Ibu dan Ayah. Memeluk
          Ayah baik-baik saja. Suasana malam semakin   keduanya
          dingin. Pikiranku semakin membantah yang   “IBUUUU  AYAAAAAAH,    JANGAN
          terburuk. Aku hanya bisa menunggu.    TINGGALIN RENDY. RENDY GA MAUU
            23:27                               SENDIRI, RENDY GA MAU SEPATU BARU,
            Malam semakin dingin. Angin terus   RENDY MAU NYA IBU SAMA AYAH SELALU DI
                                                SISI RENDY. AAAAAH IBUUU AYAAAH!!” Aku
          berbisik. Hening semakin menusuk. Pikiran   menangis seraya memeluk jenazah kedua
          burukku tak terbendung. Aku pejamkan   orang tua ku.
          mata kembali. Mataku memanas. Air mataku
          mulai mengucur. Tiba-tiba terdengar suara,  2:55
            *Niuu niuu niuu niuu                   Warga-warga   mulai  berdatangan.
            Suara itu dari arah yang lumayan jauh.   Jenazah Ibu dan Ayah mulai dimandikan.
                                                Aku masih tergugu menangis. Seorang
          Semakin lama semakin mendekat. Suara   ibu-ibu menenangkan. Aku mulai berfikir,
          itu  berhenti  tepat  di  depan  rumahku.   untuk kedepannya Aku akan kehilangan
          Sedari tadi Aku memejamkan mata. Mataku   sosok dua pahlawan yang sangat hebat.
          mendadak terbuka.  Tiba-tiba ada empat   Aku akan sendiri. Kehilangan senyuman
          orang laki-laki dengan pakaian perawat   pagi yang hangat. Kehilangan pelindung
          membopong seseorang laki-laki. Saat   kokoh.   Kehilangan  pelukan   yang
          kulihat, Aku terdiam sejenak. Baru kali ini   nyaman. Kehilangan tatapan yang sejuk
          Aku setuju dengan pikiranku yang buruk   mengoptimiskan.
          itu. Laki-laki itu adalah Ayah, yang selama
          ini selalu membuatku kuat. Yang selama ini   3:15
          membuatku tersenyum. Dia adalah Ayahku.   Masih dengan keadaan yang sama.
          Aku terduduk dengan kaki sudah terkulai.  Aku masih memeluk keduanya.  Terasa
            Tidak sampai di situ saja. Empat    dingin untuk dipeluk. Aku mulai tak
          perawat kembali  ke  dalam  ambulan. Dan   sadarkan. Mungkin karena Aku mengantuk.
          membopong seseorang lagi. Seorang     Pandanganku gelap. Aku mulai merasakan
          wanita. Yang saat kulihat.            dingin.  Bukan  dingin  dari  tubuh kedua
             Jleb.                              orangtuaku, melainkan dari suasana pagi.
                                                Aku pun tak sadarkan diri.
              Waktu terhenti. Hatiku sangat sakit.
          Seketika Aku mematung. Mataku tak kuasa             ***
          menahan tangis. Seorang wanita itu adalah   Suasana pagi yang dingin. Suara-suara
          Ibu. Dia adalah sosok wanita yang selalu   kendaraan mulai melewati jembatan.
          kudambakan.  Sosok  wanita  yang  selalu   Suara adzan Subuh pun terdengar. Aku
          menghangatkanku dengan senyumannya.   terbangun karena di sini sangat dingin.
          Sosok yang kebaikan dan perjuangannya   Mataku basah oleh air mata. Lagi-lagi mimpi

         38    MAJALAH AL-BAYAN
               EDISI 24
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43